Jumat, 07 Mei 2010

HUKUM SURAT MENYURAT, EMAIL, SMS ANTARA PEMUDA DAN PEMUDI

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal. 58) ditanya, “Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan seorang wanita ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh cinta, apakah perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara dua insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati. Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan kepada perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang yang ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga agama dan kehormatannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufik.”

Bila ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari kata-kata keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya, apatah lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun dia, untuk surat-menyurat dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian menyangka bahwa tidak ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus menerus menyertainya, hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si wanita terpikat dengannya.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Dalam surat-menyurat antara pemuda dan pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al- ‘Utsaimin, 2/898)

MENAWARKAN MUSLIMAH KEPADA LAKI-LAKI SOLEH; NO PROBLEM!

Para pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita- wanita yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka kepada seorang yang shalih.

Lihat pula apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ketika putrinya Hafshah radhiyallahu 'anha menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin Hudzafah As-Sahmi radhiyallahu 'anhu di Madinah, ‘Umar radhiyallahu 'anhu mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang belum lama ditimpa musibah dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata, “Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab Umar.
“Sebenarnya tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut. Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak jadi meminang Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no. 5122)

Kriteria Pasangan Hidup : BAIK AKHLAK DAN AGAMANYA

Satu kisah yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini. Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah, yang menawarkan putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita, “Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana engkau?”
“Istriku meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.
“Kenapa engkau tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenasahnya?” tanya Sa’id.
Setelah beberapa lama berada dalam majelis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang baru?”
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya, sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar dua atau tiga dirham?” jawabku.
“Aku orangnya,” kata Sa’id.
“Engkau ingin melakukannya?” tanyaku
“Iya,” jawab Sa’id.
Ia pun memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa, maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba- tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.
“Sa’id,” jawab si pengetuk.
Aku pun berpikir siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid [Karena Sa’id memakmurkan hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah Subhanahu wa Ta'ala]. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”
“Oh tidak! Engkau lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.
“Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” tanyaku.
“Engkau tadinya membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling tahu tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya paling mengerti tentang hak suami.”


Demikian kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)


Dari kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan atau keponakan kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!

Kriteria Pasangan Hidup : AGAMA LEBIH UTAMA

OBAT MUJARAB CEGAH PERCERAIAN

Alkisah seorang istri mendatangi seorang Ulama, lalu mengadu kepada Ulama tersebut.
"Aku benci suamiku. Aku sudah berniat mengajukan talak padanya, karena akhir-akhir ini, sepanjang siang dan malam, tidak ada lagi yang kupikirkan selain bagaimana cara terbaikuntuk menyusahkan dan menyengsarakannya."
Sang Ulama berkata, "Dalam kondisi ini, aku nasehati kamu untuk mulai memperlihatkan rasa cinta dan takjubmu kepada suamimu, agar dia merasa tidak dapat meninggalkanmu.Setelah itu, barulah engkau mengajukan talak. Inilah cara terbaik untuk menyengsarakannya."
Beberapa bulan kemudian, wanita itu datang kembali ke sang ulama dan mengatakan bahwa ia telah melaksanakan nasehat tersebut. Sang Ulama memotong perkataannya sambil tersenyum,
"Bagus. Jadi sudah tiba waktunya untuk mengajukan talak."
Wanita itu menyanggah, "Talak??? Musatahil. Aku sekarang benar-benar mencintainya."

Dari kitab "Liman yuridu azzawaj...wa tazawwaj", Syaikh Fuad Shalih.

CIRI-CIRI ISTRI YANG MENCINTAI SUAMI

1. Memperhatikan penampilan, kecantikan, dan riasannya.
2. Senang menyebut-nyebut dan membanggakan suaminya di depan orang.
3. Nyaris selalu mematuhi
4. Mencemburui suaminya pada wanita-wanita lain.
5. Pikirannya terisi oleh suaminya dan mengkhawatirkan keselamatan suaminya.
6. Senang dicemburui suami, karena ini adalah tanda cinta sang suami kepadanya.
7. Setiap kekasih beruasaha membahagiakan orang yang dicintainya. Istri yang mencintai suaminya lebih keras lagi dalam berusaha membahagiakan dan melayani suami, memberikan segala hal yang menyenangkan dan membahagiakan sang suami.
8. cenderung lebih mudah mempercai suaminya daripada orang lain.
9. Istri memaafkan suami yang dicintainya jika sang suami berbuat kesalahan kepadanya.